Jaman semakin edan, perilaku masyarakat juga semakin hedonis bin permisssiv, masalah kesulitan pekerjaan sering jd problem besar. Bahkan demi mempertahankan hidup, byk orang yng mengorbankan harga diri dgn menjual diri. Namun masalah tidak berhenti karena seperti efek domino, membiarkan para PSK/Gigolo berkeliaran bebas menyebabkan penyakit menular seksual gampang menyebar dan membahayakan kesehatan masysarakat.
Munculnya ide lokalisasi alias membangun suatu area khusus untuk aktivitas seperti menimbulkan pro kontra.
Prostitusi dan judi itu konon merupakan 'dosa' tertua di dunia, jadi kalo berharap itu musnah kayanya pesimis deh, wong umurnya aja sama ama umur manusia hidup di bumi. Jadi, lebih baik di lokalisasikan saja semuanya, kenapa? contoh kasusnya di bandung. sebelumnya bandung memiliki lokalisasi prostitusi yang namanya saritem, dan kemarin ini walikota bandung (atas nama warga) membubarkan lokalisasi tersebut (katanya untuk dijadiin pusat agama atau apalah). sukses? ya, sukses sementara, hanya beberapa minggu. efeknya? ya... para PSK tidak terkendali, banyak ditemui di sudut-sudut jalan, dengan kata lain PSK tumpah ruah di jalan. kalo udah gini, bagaimana kita bisa menghindari efekefek negatif dari prostitusi? semuanya makin tidak terkendali.
Sarkem? Bagi penduduk Kota Jogja siapa yang tidak mengenal nama tempat ini? Seperti lazimnya kota-kota besar lain di Indonesia seperti Surabaya dengan Dolly nya, Bandung dengan Saritem nya, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia yang memiliki ‘objek wisata’ lokalisasi seperti ini. Keberadaan Sarkem secara tidak langsung seperti sudah menjadi sebuah trademark Kota Jogja sendiri di mata masyarakat Indonesia. Mengapa bisa sampai terjadi demikian? Kita pun harus menilik kebelakang bagaimana tempat ini bisa sampai ada dan bertahan begitu lama nya.
Dikisahkan, dahulu nama lokalisasi Sarkem berawal dari nama balokan karena dahulu terdapat banyak para penjual balok kayu. Balokan memang tempat yang strategis dan aman untuk berusaha. Kemudian Balokan dijadikan tempat untuk melakukan hubungan seks di gedek oleh warga sekitar dan para penjual yang sehari-harinya lewat . Sejak saat itulah Balokan menjadi tempat prostitusi. Selanjutnya rumah-rumah penduduk pun berdiri di sekitar lokasi Balokan. Lokasi Balokan berada di tengah-tengah pemukiman penduduk. Inilah yang membuat warga kala itu tidak menggubris keberadaan lokalisasi Balokan. Pasalnya, lokalisasi itu telah berdiri lebih awal dibanding pemukiman warga. Bahkan kala itu banyak warga dari berbagai daerah membuka pemukiman di sekitar lokalisasi untuk mengais rupiah dari bisnis prostitusi. Tidak hanya itu, banyak pula di antara warga yang akhirnya ikut-ikutan menjalankan profesi sebagai mucikari.
Beragam argumentasi “mengapa menutup lokalisasi seperti Sarkem sangat susah sekali”. Alasan ekonomi, menutup atau merelokasi lokalisasi apapun termasuk Sarkem tanpa memecahkan masalah utama yakni kemiskinan ibarat menggarami lautan lepas alias akan sia-sia saja. Di belahan bumi manapun, bahkan dinegara-negara teokrasi sekalipun, prostitusi susah diberantas, karena memang akarnya adalah kemiskinan. Contoh kasus seperti yang dilakukan para PSK asal Irak yang terpaksa menjual diri di kota - kota besar seperti beirut dan damaskus, akibat tuntutan ekonomi sebagai dampak agresi AS di negara mereka.
Dianggap penyakit
Binolia alias Simbok, salah satu PSK yang aktif di organisasi PSK Yogyakarta, juga di lingkungan PKBI karena turut serta membina warga binaan di kawasan “lampu merah" Sarkem mengeluhkan cara pandang yang tidak adil oleh masyarakat.
Terhadap keberadaan PSK, masyarakat masih saja mengganggapnya sebagai lelucon, sebagai badut yang harus ditertawakan, dan sesuatu yang dianggap tidak ada-padahal, eksistensi mereka ada.
Seorang rekan Binolia mengeluhkan pula, penangkapan-penangkapan terhadap PSK oleh aparat keamanan telah membuat PSK dianggap sebagai penyakit masyarakat.
Belum lagi, sering terjadi pelecehan-pelecehan terhadap PSK oleh masyarakat, karena dikategorikan sebagai pekerjaan yang penuh dengan penyakit menular.
Keuntungan dari lokalisasi itu diantaranya:
1. Penyebaran penyakit lebih bisa terkontrol, artinya pemerintah tinggal melakukan pemeriksaan rutin di satu tempat saja setiap minggu/bulannya
2. Pembatasan pengunjung, artinya apabila prostitusi ada di satu wilayah tertutup (terlokalisasi dengan baik), maka memungkinkan untuk melakukan penyaringan pengunjung... misalkan pembatasan usia, bahkan mungkin pembatasan agama (misalkan warga negara indonesia yang beragama muslim dilarang masuk pada saat bulan puasa) dan sebagainya.
Binolia dan kawan-kawannya mengharap, GKR hemas bersedia menjadi pelindung organisasi PSK. Di Yogyakarta, sudah empat generasi organisasi itu dibentuk tetapi tidak efektif membela anggotanya. By: Dimas Putik Marijoe(153070367) & Alvin Ardian Pratama(153070314)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar